Bondowoso, areknews – Klaster beras organik di Desa Lombok Kulon, Kecamatan Wonosari, Bondowoso, saat ini didorong untuk segera masuk ke pasar ekspor. Langkah ini dilakukan Bank Indonesia (BI) Kantor Perwakilan (KPw) Jawa Timur bersama BI KPw Jember untuk mendorong peningkatan ekspor sebagai salah satu langkah menaikkan cadangan devisa negara.
Diketahui bila kenaikan nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah yang pada beberapa waktu terakhir ini, cukup membuat cadangan devisa negara minus 3 persen dari PDRB.
“Langkah peningkatan ekspor sudah menjadi target untuk mengatasi masalah ini. Salah satunya yang kami dorong adalah beras organik asal Bondowoso ini,” ujar Harmanta, Kepala Grup BI Jatim, Kamis kemarin.
Beras organik asal Bondowoso ini yang paling siap ekspor adalah beras organik produksi Gapoktan Al Barokah dari Desa Lombok Kulon Kecamatan Wonosari.
Hal itu tak lepas dari produk beras organik ini yang sudah mendapatkan sertifikat internasional, sehingga kualitasnya bisa sejajar dengan beras-beras dari negara lain.
Sertifikasi itu berasal dari Control Union pada Maret 2018 lalu. Untuk menuju pasar internasional itu, Gapoktan Al Barokah sudah mengirimkan contoh produk ke Hongaria dan Belgia. Diprediksi akhir tahun ini ekspor ini sudah bisa dilakukan. Minimal 25 ton untuk sekali ekspor.
Pendamping pertanian organik, Prof Indar Prihatini dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengatakan untuk menuju ke pasar internasional memang banyak hal yang perlu dipenuhi.
“Salah satunya adalah sumber air. Pasar Jepang saja tidak akan mau menerima beras organik dari satu negara jika tidak dihasilkan daerah yang menjadi pusat sumber air,” kata Indar. Desa Lombok Kulon Kecamatan Wonosari kabupaten Bondowoso ini sudah punya modal karena berada di daerah pusat sumber air.
Namun itu saja tidak cukup. Indar mengatakan lahan tersebut harus disertifikasi internasional. “Dengan sertifikasi itu, nantinya apapun yang dihasilkan di atas lahan itu bisa diklaim sebagai hasil pertanian organik,” tambahnya.
Saat ini, lahan di Kabupaten Bondowoso itu baru 20 hektar yang lolos sertifikasi internasional dari 160 hektar lahan pertanian organik ini, sehingga produk yang bisa diekspor hanya dari lahan yang sudah disertifikasi.
“Tapi lagi-lagi pasar internasional itu detail. Walau lahan sudah disertifikasi tapi ada hal lain yang dinilai. Ada residunya, hingga sumber daya manusianya. Diperiksa hingga ke rumah tangga petani itu sendiri. Di rumahnya diperiksa apa masih ada pupuk kimia atau tidak. Kalau masih ditemukan kimia maka jangan berharap bisa lolos sertifikasi internasional,” tambahnya.
Karenanya sebelum mendapatkan sertifikasi internasional ini harus terlebih dulu mendapatkan sertifikasi nasional atau SNI. Untuk bisa mendapatkan SNI ini harus terlebih dulu menanam pertanian organik selama setahun. Sementara untuk mengajukan sertifikasi internasional harus menanam organik minimal tiga tahun.
Sementara itu, Ketua Gapoktan Barokah, Mulyono, mengungkapkan untuk saat ini produksi pertanian organik dari 400 petani di desa ini mencapai tujuh hingga delapan ton per hektar. “Pendapatan petani juga meningk at tajam. Jika sebelumnya pendapatan petani Rp 26 juta per hektar kini mencapai Rp 38 juta per hektar,” kata Mulyono.
Saat ini pasar produk beras organik yang sudah menggunakan brand Botani itu, mulai mengirimkan banyak produk ke Kalimantan dan Sulawesi untuk perdagangan antar pulau. Ditempat yang sama, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bondowoso, Munandar, mengaku pemkab berusaha untuk membantu semampunya.
“Kami sudah anggarkan APBD Rp 2 miliar di Gapoktan ini. Tapi karena kemampuan pemerintah terbatas ya kami dorong Gapoktan ini untuk mendiri,” tandasnya.xco