Surabaya, areknews – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai ada indikasi persaingan dagang tidak sehat dalam penunjukan Perum Bulog untuk mengimpor bawang putih karena adanya perbedaan perlakuan kepada Bulog dengan pengimpor lainnya. “Sesuai Permentan (Peraturan Menteri Pertanian) Nomor 38 Tahun 2017, importir diwajibkan untuk melakukan penanaman bawang putih sebesar 5 persen dari kuota impornya. Namun, dalam impor yang dilakukan oleh Bulog, ketentuan ini tidak diwajibkan,” kata Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Sirangih, Selasa (26/3).
Hal inilah, lanjut dia, yang menjadi tidak adil bagi importir lain yang wajib melakukan penanaman bawang putih. Oleh sebab itu, KPPU akan memanggil Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk mengkonfirmasi masalah ini. “Kami minta penjelasan kalau memang ada kelangkaan bawang putih,” ujarnya.
Ekonom Universitas Indonesia (UI), Lana Soelistianingsih berpandangan, setidaknya ada dua kerawanan ini. Di satu sisi, Bulog memiliki keterbatasan dana sehingga tidak mampu melakukan impor. Di sisi lain, karena keterbatasan dana tersebut, BUMN ini akhirnya menjual hak impornya kepada importir lain untuk mengambil keuntungan.
“Dalam hal mungkin hak impornya itu dijual ke orang lain kemudian dihargai mahal untuk mengambil keuntungan itu. Itu ada potensi,” ujar akademisi ini. Pengalihan hak impor kepada pihak ketiga pun sangat mungkin dengan harga berlipat ganda dibandingkan harga yang seharusnya.
“Saya Bulog, saya nggak punya uang. Saya tahu ada yang punya uang. Kamu mau nggak impor, tapi atas nama saya? Oke. Harga berapa? 100? Bikinlah Rp150, misalnya,” tambah Lana. Ia tak menampik memang selama ini Bulog berperan sebagai stabilisator untuk komoditas-komoditas strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Namun, untuk meminimalkan potensi penyelewengan yang dapat terjadi, ada baiknya peran Bulog lebih diarahkan sebagai evaluator, bukan sebagai pelaku impor langsung. Di samping itu, Lana menyerankan, pemerintah tetap harus menetapkan harga eceran tertinggi terhadap komoditas khususnya pertanian.
Tujuannya agar siapa pun pihak yang mengimpor berupaya tinggi mencari harga rendah agar nilai jual komoditas terkait di pasaran tidak melambung. Senada, pengamat ekonomi Prof. Didik J Rachbini melihat saat ini kapasitas Bulog sudah sangat menurun sehingga akan tidak mampu untuk mengurus bawang putih.
Karena ketidakmampuan dana tersebut, ia pun meyakini Bulog akan meminta bantuan swasta untuk melakukan impor komoditas tersebut. Kinerja penyerapan padi petani pun tak menggembirakan. “Kalau Bulog nggak punya dana, dia ngambil swasta. Berbagi untung dengan swasta. Itu sama dengan monopoli,” ujar pendiri INDEF ini. Praktik semacam itu, diungkapkan Didik sudah terjadi sejak lama. Tak tertutup kemungkinan ini berulang.
Disarankan Bulog fokus saja kepada komoditas utama, yaitu beras, mengingat kapasitas dananya yang terbatas. Ia pun menyadari saat ini impor bawang putih memang diperlukan mengingat tidak cukupnya suplai bawag putih dari petani-petani lokal. Namun, ia melihat lebih baik impor untuk komoditas ini dibiarkan berjalan bebas, tanpa ada proses penunjukan.xco