Jakarta, areknews – Crown Group Indonesia menekankan bahwa setiap orang asing yang memiliki apartemen di Australia akan mendapatkan sertifikat hak milik/ SHM atas unit apartemen yang dimiliknya.
Manajer Penjualan Crown Group Indonesia, Reiza Arief, awal minggu ini menjawab beberapa pertanyaan yang muncul perihal legalitas kepemilikan apartemen di Australia.
“Banyak calon konsumen yang mempertanyakan hal ini kepada kami perihal pembeli asing di Australia, Terutama ketika mereka memperbandingkan dengan pengalaman membeli unit apartemen di Indonesia,” ujarnya dalam rilies yang diterima areknews.com, Selasa (9/2).
Orang asing, kata Arief, tetap akan mendapatkan jenis sertifikat yang sama dengan penduduk lokal, yaitu SHM yang berlaku seumur hidup dan dapat diwariskan.
Sementara yang membedakan legalitas kepemilikan properti bagi orang asing di Australia dengan di Indonesia, kata Reiza, hanya berlaku satu jenis sertifikat saja, yaitu Freehold certificate dan lahan di atas gedung akan dibagi dalam bentuk strata ke setiap unit.
Sedangkan di Indonesia terdapat beberapa tipe sertifikat tergantung dari kepemilikan lahan gedung, dan strata hanya merupakan kepemilikan ruang unit dan tidak termasuk lahan dimana gedung itu berdiri.
“SHM di Australia sendiri masih berbentuk fisik, walaupun sudah menggunakan sistem digital untuk penyimpanan data,” tambahnya.
Reiza Arief juga mengungkapkan, waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan SHM di Australia cukup singkat.
“Di Australia, biasanya 2 minggu sebelum jadwal serah terima unit sertifikat sudah keluar, dan serah terima unit tidak akan terjadi apabila sertifikat belum ada,” tambahnya.
Pendaftaran sertifikat saat ini sudah menggunakan sistem pendaftaran digital e-documents, sehingga memudahkan bagi pembeli yg berdomisili di luar negeri.
Ketika ditanyakan mengapa banyak orang asing khususnya dari Indonesia lebih banyak membeli apartemen dibandingkan rumah tapak, Reiza memberi penjelasan, untuk kepemilikan rumah tapak harganya lebih tinggi dibandingkan unit apartemen, terutama di area yang strategis seperti di dekat CBD dan area sekitar kampus.
Pemeliharaan rumah tapak juga lebih mahal jika dibandingkan dengan apartemen, bahkan ada pajak tambahan apabila rumah tapak tersebut kosong lebih dari 6 bulan yang besarannya sendiri sekitar 1% dari nilai properti yang dimiliki.
“Apartemen juga secara umum lebih mudah di sewakan dibanding rumah tapak, sehingga memudahkan para investor yang menggunakan KPA me-leverage pembayaran cicilan bulannya,” terangnya.
Ditambah 70% tipe pembeli dari Indonesia adalah tipe investor dimana mereka mencari properti yang mudah disewakan dan memberikan imbal hasil yang tinggi.
“Itulah sebabnya lebih banyak pembeli asing yang menyasar unit apartemen dibandingkan rumah tapak,” jelasnya.
Ditambah jumlah calon penyewa unit apartemen lebih besar jika dibandingkan dengan rumah tapak di Australia. Sebagai gambaran, persentase penyewa rumah tapak adalah sebesar 14% pada tahun 2009 dan hanya naik sebesar 1% menjadi 15% pada tahun 2019.
“Sementara persentase penyewa unit apartemen adalah sebesar 43% pada tahun 2009 dan naik menjadi 56% di tahun 2019,” katanya.
Juga ada penurunan presentase sebesar 13% bagi mereka yang membeli dan tinggal di unit apartemennya. Dari 56% pada tahun 2009 menjadi 43% pada tahun 2019.
Terkait perlu tidaknya digitalisasi pendaftaran SHM, Reiza Arief berpendapat, meskipun SHM masih berbentuk fisik, namun sistem registrasi sertifikat sebaiknya di digitalisasi untuk mencegah tumpang tindih sertifikat yang masih sering terjadi di Indonesia.
Kepemilikan lahan di atas gedung Apartemen yang memiliki sertifikat terpisah juga melemahkan posisi pembeli.
“Diperlukan campur tangan dari pemerintah Indonesia untuk dapat menjamin hak konsumen mendapatkan sertifikat atas unit yang dibeli sehingga meningkatkan kepercayaan dan antusiasme konsumen dalam membeli proyek off the plan, karena sering terjadi sertifikat tidak keluar walaupun mereka sudah membayar lunas,” tutup Reiza.xco