Surabaya, areknews – Sebanyak tiga wali murid SMPN 15 Surabaya dan dua wali murid SMPN 54 Surabaya mengadu ke DPRD kota Surabaya, terkait adanya pungutan seragam sekolah di tahun ajaran baru.
Mereka di terima oleh Anggota Komisi C Abdul Ghoni Muklas Niam di ruang DPRD setempat, Kamis (2/9).
Anggota Komisi C DPRD Surabaya Abdul Ghoni Muklas Niam menyayangkan kasus pungutan seragam sekolah kembali terjadi.
Menurutnya pungutan seragam tersebut disampaikan melalui surat edaran, namun tidak ada tanda kop surat. “Perintah Wali Kota Surabaya sudah jelas. Sekarang tinggal praktek dilapangan. Kalau perlu pejabat pemkot yang terkait turun langsung kelapangan,” tegasnya.
Ghoni kembali menegaskan tidak boleh dilakukan pungutan apapun di sekolah. “Karena itu menyalahi aturan PP nomor 17 tahun 2010 terkait penyelenggaraan pendidikan. Yang diantaranya menyebutkan tidak boleh melakukan kegiatan jual beli perlengkapan sekolah. Karena fungsi sekolah mendidik supaya berguna siswa bagi masyarakat,” ungkapnya.
Ghoni juga menyesalkan ketika pungutan tersebut terjadi di masa pandemi. “Apalagi disituasi pandemi maka unsur pendidikannya bagaimana. Kalau memang ada kendala keuangan silahkan dikomunikasikan biar clear. Kan sudah ada BOS, para guru ini juga PNS,” ujarnya.
Pihaknya menduga, masih banyak wali murid yang menjadi korban pungutan seragam. “Yang kita terima ini mungkin baru beberapa. Mungkin masih banyak lagi kasus serupa namun mereka tidak berani mengadukan. Kalau ada oknum yang mengintimidasi karena mengadukan kasus ini, laporkan ke kita,” pungkasnya.
Sementara itu, Lastri wali murid SMPN 15 Surabaya mengaku, kalau diharuskan membeli seragam sekolah untuk dua anaknya yang kembar laki-laki. “Seragam untuk anak laki-laki senilai satu juta lima ratus ribu rupiah. Kalau untuk anak perempuan yang pakai jilbab, senilai satu juta enam ratus ribu rupiah,” jelasnya.
Pungutan ini memberatkan bagi Lastri, apalagi dia termasuk dalam kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). “Kalau bisa dibebaskan biaya apapun,” pintanya.xco