Surabaya, areknews – DPRD Surabaya menyoroti kebijakan pemerintah kota menjadikan Pasar Induk Sidotopo Surabaya (PISS) sebagai satu-satunya pusat distribusi dan transaksi komoditas sayur-mayur dan buah di Kota Surabaya.
Menurut sumber, bakal dilakukan beberapa cara untuk memaksakan kebijakan tersebut. Yakni, Dinas Perhubungan (Dishub) Surabaya akan merazia kendaraan yang mengangkut komoditas pasar dari petani asal Batu dan Kabupaten Malang agar tidak menyuplai barang ke pasar lain, selain PISS.
Selain itu, Satpol PP Kota Surabaya juga akan menertibkan beberapa pasar di kota pahlawan untuk memaksa kebijakan tersebut.
Wakil Ketua DPRD Surabaya, AH Thony mengatakan jika fenomena sistem distribusi seperti itu terjadi di Surabaya pada akhirnya ada pengendalian yang sangat kuat oleh pelaku pasar atas komoditas barang-barang pokok yang secara ‘distribusi’ itu tersentral.
Akhirnya ada oligopoli, yakni keadaan pasar dengan suatu komoditas yang hanya dikuasai oleh beberapa perusahaan. “Itu akan terjadi,” kata Thony.
Potret ini, menurut AH Thony memberikan suatu gambaran bahwa perekonomian, terutama distribusi barang atau bahan-bahan pokok komoditas pasar itu dikendalikan hanya beberapa gelintir orang. Bahkan, mengatasnamakan kelompok tertentu tetapi sesungguhnya hanya beberapa orang saja. “Peran Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya seharusnya bisa menyelesaikan ini,” katanya.
Karena itu, politisi Partai Gerindra ini menawarkan perlunya Pemkot Surabaya atau PD Pasar Surya membuat kontrak dengan daerah-daerah dengan melakukan pembinaan kepada petani-petani.
Selanjutnya, para petani ini dikonektivitaskan dengan gudang atau depo-depo yang disiapkan oleh PD Pasar Surya berdasarkan distrik atau wilayah. Misalnya di Surabaya Utara, Selatan Barat, Timur, dan Tengah. “Dengan begitu distribusi barang itu lebih merata berdasarkan kebutuhan dan bisa dikendalikan, baik harga maupun kuantitas ketersediaan,” ungkap AH Thony.
Hanya saja, dia melihat Pemkot Surabaya belum memikirkan itu. Terbukti dengan munculnya beberapa pasar (seperti PISS) yang sebetulnya secara tata ruang tidak memberikan dukungan.
Lebih jauh, AH Thony menyatakan, tata ruang pasar itu kan semestinya ditentukan Pemkot Surabaya berdasarkan zonasi-zonasi yang ditetapkan dalam RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah).
Tapi kemudian ada pihak tertentu yang mendirikan pasar dengan branding sektor privat, kemudian melakukan monopoli oligopoli komoditas. “Lha kalau itu yang terjadi, maka sulit bagi pemerintah untuk bisa mengendalikan harga dan jumlah distribusi tersebut. Selain itu, juga tidak ada lagi distribusi,” ujar Thony.
“Distribusi itu kelihatan normal, tapi ini kan distribusi berdasarkan hukum rimba. Siapa yang kuat, dia yang akan menang. Kita sih inginnya sebuah distribusi yang memberikan pemerataan,” tegasnya.
AH Thony melihat ada banyak pelaku-pelaku UMKM yang dibentuk Pemkot Surabaya. “Kalau sistem (monopoli oligopoli) ini dilestarikan, maka impossible UMKM-UMKM ini bisa berkembang,” katanya.
Ditanya soal kabar Pemkot Surabaya diminta menertibkan pedagang buah di Pasar Tanjungsari? Thony menegaskan, agar tidak melakukan itu. Karena disana sudah ada kegiatan ekonomi.
“Lha kalau di situ (Pasar Tanjungsari) tidak diperbolehkan, lalu mereka akan ditempatkan di mana? Kalau dimasukkan ke PISS, ya ini namanya pemkot jadi makelar atau bahasa kerennya diperalat. Akhirnya pemkot akan jadi bagian sistem (monopoli oligopoli) itu, ” beber dia.
“Jadi, kalau masuknya pada kawasan itu (PISS) kan berarti secara tidak langsung aparat pemkot itu memfasilitasi terhadap munculnya sistem monopoli oligopoli,” pungkasnya.xco