,

Jadi Profesor Kehormatan di India, Dosen Unusa Ungkap Tantangan Jadi Pengajar di LN

Surabaya, areknews – Dosen muda Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), Achmad Syafiuddin, S.Si, M.Phil, Ph.D, baru saja diangkat sebagai “Distinguished Adjunct Professor” (Profesor Kehormatan) dari Saveetha Institute of Medical and Technical Sciences (SIMATS), India.

Tidak tanggung-tanggung, perguruan tinggi yang memberikan gelar profesor kehormatan itu berada di peringkat 13 dunia berdasarkan QS World University Rankings by Subject. Pria yang menjabat sebagai Ketua LPPM Unusa ini menyandang gelar prestisius itu sebagai pengakuan atas kontribusinya yang luar biasa di dunia akademis. 

Gelar “Distinguished Adjunct Professor” bukan sembarang gelar, ini menandakan bahwa Syafiuddin dianggap sebagai seorang Profesor Terhormat yang memiliki keistimewaan dalam bidangnya. Sebagai informasi, Distinguished Professor merupakan jabatan tertinggi bagi seorang Profesor atas capaian istimewanya dalam bidang keahliannya.

Atas pengangkatan di perguruan tinggi itu, Syafiuddin berkewajiban untuk mengajar dan datang sebanyak dua kali dalam setahun dan semua fasilitas disediakan oleh lembaga tersebut. Fokusnya, mengembangkan penelitian dan inovasi di bidang material alam untuk aplikasinya di kesehatan dan lingkungan.

Sebagai seorang peneliti yang juga masuk dalam jajaran 2% scientists dunia dari Stanford University and Elsevier untuk ketiga kalinya (2021-2023), Syafiuddin mengungkapkan, pencapaiannya ini tidak lepas dari konsistensinya dalam melakukan penelitian, terutama dalam teknologi yang berasal dari bahan alam untuk masalah lingkungan.

Pria kelahiran 29 September 1988 ini menjelaskan tantangan menjadi dosen di luar negeri, terutama di kampus ternama.  “Sangat sulit, khususnya diberikan gelar Distinguished Adjunct Professor. Hanya saintis yang diakui dunia saja biasanya yang diangkat,” ujar Syafiuddin. Menurutnya, pengajaran di luar negeri memerlukan dedikasi tinggi, dan kebanyakan yang mendapat kesempatan tersebut adalah mereka yang telah diakui secara global, seperti pemenang Nobel.

Meskipun menghadapi perbedaan budaya, Syafiuddin optimistis dapat mengatasi kendala bahasa karena kemampuan berbahasa Inggris mereka di atas rata-rata. “Mungkin hanya perbedaan budaya saja yang menjadi tantangan,” tambahnya.

Berbagi tips untuk para dosen yang bercita-cita mengajar di luar negeri, Syafiuddin menekankan pentingnya fokus pada kualitas riset dan karya tanpa mengharapkan penghargaan. 

“Para peraih Nobel tidak pernah berharap diberikan Nobel karena mereka hanya melakukan riset dengan serius dan diuji oleh para saintis dari seluruh dunia,” ungkapnya. 

Bagi Syafiuddin, penghargaan hanyalah bonus dari dedikasi dan kerja keras yang dilakukan. Dalam konteks pencapaiannya sebagai salah satu dari 2% scientists dunia, Syafiuddin menyampaikan bahwa jumlah publikasi penelitian yang berkualitas dan manfaatnya bagi ilmu pengetahuan menjadi kriteria penting. 

“Jumlah banyak dan harus menjadi rujukan dan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, itu pentingnya,” katanya. Dengan penghargaan ini, Syafiuddin ingin memberikan motivasi kepada para dosen dan peneliti di Indonesia untuk bekerja sungguh-sungguh dan dapat dipertanggungjawabkan. 

“Melaksanakan secara sungguh-sungguh dan dapat dipertanggungjawabkan adalah kuncinya,” ungkapnya. Ia juga menekankan, prestasinya sebagai Distinguished Adjunct Professor di institusi bergengsi adalah bukti kesejatian dan pengakuan dunia pada Unusa.

Syafiuddin berbagi pesan kepada PTNU bahwa NU sekarang telah memiliki kampus terbaik dengan pakar-pakar yang diakui dunia yang ada di Unusa. 

“Ini juga merupakan pertanggungjawaban kepada masyarakat yang telah menitipkan putra-putrinya untuk kuliah di Unusa. Prestasi ini diharapkan menjadi momentum bagi PTNU untuk terus berkontribusi dalam dunia pendidikan dan penelitian global,” tutupnya.xco