Surabaya, areknews – Polemik soal ganti rugi warga terdampak pembangunan apartemen Gunawangsa Tidar disekitar Tembok Dukuh, kecamatan Bubutan Surabaya, mulai terkuak. Pihak pengelola gedung apartemen Gunawangsa Tidar mengaku telah memberikan kompensasi berupa ganti rugi kerusakan bangunan rumah dan dana taliasih dampak polusi berupa uang debu.
Menurut Triandy Gunawan, CEO Gunawangsa, kompensasi kerusakan rumah terdampak telah diberikan sendiri ke warga dengan nilai yang bervariatif. Namun dana kompensasi untuk polusi debu, diberikan bertahap selama 3 kali yakni pada bulan Februari, April dan Mei 2016. “Kita sudah lunasi uang kompensasi polusi debu ke warga melalui kontraktor pelaksana sebesar Rp. 800 juta,-. Dana itu diserahkan ke tokoh masyarakat setempat. Namun masalahnya dananya diberikan bertahap ke masing-masing warga, yakni pada tahun 2016, 2017 dan 2018,” ungkap Triandy dalam keterangan persnya, Selasa(30/10).
Untuk pembayaran dana kompensasi tahap ketiga, lanjut Triandy, warga tidak menerimanya, karena sisa uang kompensasi sekitar Rp. 168 juta, dipinjamkan ke pihak lain. Diduga uang sisa kompensasi itu semula dipegang oleh Hari Suyitno ketua RW V dan Yanto (alias Rijanto) ketua RT 5/ RW II, kelurahan Tembok Dukuh, kecamatan Bubutan Surabaya. “Suyitno dan Yanto membawa uang sebesar Rp. 134 juta, lalu dipinjamkan ke Muhammad Syarif bersama uang kompensasi yang belum bisa dipertanggungjawabkan oleh kedua tokoh masyarakat itu sebesar Rp. 34 juta. Jadi itu total uang yang diduga digelapkan,” papar Andy sapaan akrab Triandy Gunawan.
Ketika di usut, Muhammad Syarif ternyata oknum humas apartemen Gunawangsa.
Andy menjelaskan, kedua tokoh masyarakat itu mengaku bersedia meminjamkan uang sisa kompensasi, lantaran di iming-iming bunga sebesar Rp. 200 juta. Namun, yang membuat warga bergejolak sebenarnya bukan soal uang kompensasi itu. Ia kembali menjelaskan, ada beberapa warga non terdampak yang ingin mendapatkan ganti rugi dari aktivitas pembangunan Apartemen Gunawangsa Tidar.
“Kalau warga terdampak pembangunan langsung sekitar 119 kepala keluarga yang tersebar di RT-05/RW-02, RT-06/RW-02 dan RT-05/RW-05 kelurahan Tembok Dukuh, Bubutan Surabaya. Sekarang muncul warga diluar itu yang bergejolak minta dana tali asih, bahkan ada beberapa LSM yang mengancam untuk lapor ke pihak kepolisian,” papar Andy. Andy mengaku bahwa pihak pengelola Apatemen Gunawangsa Tidar merasa seolah diperdaya oleh pihak-pihak yang tidak berkepentingan disini.
Hal ini didasari oleh bukti surat laporan LSM Gempar ke Polda Jatim yang melaporkan Gunawangsa Tidar tidak membayar dana kompensasi. “Laporan itu ditujukan ke Polda Jatim dan kita cuma dapat tembusan. Tapi anehnya ketika kita (Gunawangsa,red), Polda belum menerima surat laporan itu. Ini kan sama saja saya merasa diperdaya,” tandasnya. Untuk mengantisipasi gejolak warga terdampak, uang sisa kompensasi warga yang di gelapkan itu, terpaksa ditalangi oleh pihak managemen Gunawangsa Tidar.
Uang yang dipinjam oleh Muhammad Syarif, lanjut Andy, tetap akan ditagih.
“Warga katanya sungkan menagihnya. Lalu kita minta warga lapor polisi, tapi katanya juga tidak berani. Akhirnya kita (Gunawangsa,red) yang lapor polisi dan menagihnya. Katanya polisi sudah menetapkan tersangka, tapi belum juga di ekspos. Ini oknumnya juga sudah mengakui menggelapkan uang itu dan sanggup mengembalikannya,” terangnya.
Mengenai proyek box culvert di saluran pancasila yang selama ini diklaim warga non terdampak sebagai akses masuk ke apartemen, menurut Andy, hal itu tidak benar. Ia menjelaskan, proyek box culvert itu memang di bangun oleh PT PP dengan pembiayaan dari Gunawangsa Tidar.
Program itu merupakan Corporate Social Responsibility (CSR) yang nantinya bisa menjadi akses jalan umum. “Ada 28 KK yang tinggal di atas saluran. Ketika saluran itu di normalisasi, penghuninya sudah di relokasi ke rusun Romokalisari dan di beri uang transport sebesar Rp. 3 juta per-KK. Sekarang berhenti karena demo warga, padahal Pemkot cukup proaktif mengeluarkan izin untuk membantu masuknya investasi,” pungkasnya.xco