Surabaya, areknews – Dalam memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia 31 Mei 2021 dan dengan tema “Commit to Quit”. dengan ini Research Group Tobacco Control Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga menyelenggarakan Workshop dan Diseminasi Penelitian terkait Tobacco Control yang telah di laksanakan selama ini. Semoga melalui kegiatan ini dapat menjadi rujukan ilmiah bagi para pemangku kebijakan agar dapat membuat regulasi pengendalian tembakau yang lebih tegas agar dapat menurunkan prevalensi perokok di Indonesia.
Dr. Arief Hargono, drg., M.Kes. FKM UNAIR menyebutkan latar belakang dari masalah ini adalah karena bahaya rokok bagi kesehatan. Populasi merokok meningkat setiap tahunnya di dunia. Data menunjukkan 20% populasi di dunia merokok yang meliputi 942 juta laki-laki dan 175 juta perempuan pada usia lebih dari 15 tahun keatas. Global Youth Tobacco Survey (GYTS) menyatakan bahwa 36.2% anak laki-laki dan 4.3% anak perempuan mengkonsumsi rokok di Indonesia. “Merokok menjadi penyebab utama kematian pada penyakit jantung koroner, stroke, kanker trachea, bronkus, dan paru-paru serta Penyakit Paru Obstruktif Kronik, serta penyakit lainnya,” ujarnya.
Smoking Cessation / Upaya Berhenti merokok di era 4.0 merupakan gebrakan baru intervensi UBM secara digital.
Upaya intervensi perilaku berbasis mobile melalui smartphone untuk remaja mengalami peningkatan. 94 % remaja menjelajah Web melalui smartphone setiap harinya. Aplikasi pada smartphone atau mobile application memiliki potensi untuk menjangkau khalayak remaja yang besar dan hemat biaya.
Intervensi melalui aplikasi smartphone juga dapat mengatasi kekhawatiran pengguna tentang kerahasiaan mereka. Aplikasi ini mengurangi risiko kontak langsung di era pandemi Covid-19. Sistem aplikasi ini mensupport system program UBM yang telah berjalan.
Selanjutnya dalam materi “Beban Penyakit Akibat Rokok di Jawa Timur” dengan nara sumber Kurnia Dwi Artanti, dr., M.Sc. (FKM UNAIR) sebagai penanggap Prof. Dr. Ali Ghufron Mukti., M.Sc., Ph.D.AAK dan dari BPJS Kesehatan Pusat, Dr. Abdillah Hasan, S.E., M.S.E menilai penyakit akibat rokok semakin banyak setiap tahunnya seiring dengan peningkatan jumlah perokok. Hilangnya biaya yang dihabiskan untuk mengobati penyakit akibat rokok sebanyak 18,5 milyar USD. Studi terkait beban penyakit akibat rokok beberapa sudah dilakukan di level nasional. Akan tetapi dilevel daerah khususnya jawa timur belum ada data tersebut.
Tembakau adalah factor risiko utama penyakit tidak menular dan ini dibuktikan di Atlas Tobacco 4th Edition Tahun 2015, bahwa orang yang mengkonsumsi tembakau memiliki resiko tinggi terkena penyakit kardiovaskuler, komplikasi diabetes mellitus, kanker dan penyakit paru kronis. Data menyebutkan bahwa kesakitan terbesar 2.120.000 jiwa atau 33% menderita kanker ganas, 1.870.000 jiwa atau 29% menderita penyakit pernafasan, 1.860.000 jiwa atau 29% menderita kardiovaskular atau penyakit jantung dan diikuti penyakit yang lain yaitu penyakit pencernaan, diabetes mellitus, penyakit saluran nafas bawah dan TBC.
Tujuan dari penelitian ini dilakukan saat itu adalah untuk menganalisis burden of disease pada penyakit akibat rokok di Jawa Timur. Mengidentifikasi karakteristik penderita penyakit akibat rokok, episode sakit dari penderita penyakit akibat rokok, faktor risiko penyakit akibat rokok serta Menghitung beban penyakit akibat rokok.
Data menunjukkan prevalensi merokok rendah di Australia, tinggi di negara-negara Asia dan meningkat di Timur Tengah (WHO, 2016).
Penelitian dilakukan di 14 negara : Australia, Indonesia, Kingdom of Saudi Arabia (KSA), Thailand, Vietnam, Fiji, United Kingdom (UK), United States of America (USA), Jordan, Malaysia, Nepal, India, Bangladesh, China.
Tujuan Menganalisis perilaku merokok di kalangan tenaga kesehatan di Surabaya dan membandingkannya dengan negara-negara Asia dan Timur Tengah.
Hasil penelitian Di Surabaya Mayoritas responden perempuan,Jakarta Mayoritas pria. Usia responden antara 23 – 68 tahun, Hampir semua bertempat tinggal di wilayah metropolitan dan berstatus menikah. Distribusi status merokok pada tenaga kesehatan 18% dan Jumlah batang yang dihisap paling banyak adalah 2 – 9 batang. Sebagian besar ingin berhenti merokok tapi belum terpikir kapan harus berhenti dan Cara yang paling disuka untuk berhenti merokok paling banyak adalah Sesi konseling pribadi. Sebagian besar responden menyarankan untuk berhenti merokok akan tetapi semakin lama semakin kecil responden yang memberikan bantuan. Sangat sedikit tenaga kesehatan yang sudah mendapatkan pelatihan berhenti merokok
Saran kepada pemerintah atau pemangku kepentingan yaitu : Mengadakan pelatihan kepada tenaga ksehatan untuk berhenti merokok. Memfasilitasi tenaga kesehatan yang berkeinginan untuk berhenti merokok dengan menyediakan klinik berhenti merokok di RS. Membuat program terkait dengan upaya berhenti merokok disertai dengan monev dan catatan keberhasilannya.
Materi 4 “Perilaku Merokok & Stunting demgan narasumber Dr. Siti Rahayu Nadhiroh, S.KM., M.Kes. (FKM UNAIR) dan penanggap Pungkas Bahjuri Ali, S.TP., M.S. Kementerian PPN/BAPPENAS serta Prof. Dr. Ir. H. Hardinsyah, MS, Institut Pertanian Bogor, Pergizi Pangan Indonesia.
Berdasarkan Tobacco Atlas, Indonesia menjadi salah satu dari lima negara dengan jumlah konsumsi rokok terbanyak di dunia, yakni 173 miliar batang pada tahun 2006 dan meningkat secara signifikan menjadi 316 miliar batang pada tahun 2018. Prevalensi perokok penduduk berusia 15 tahun ke atas pada tahun 2018 mencapai 33,8 persen (Riskesdas, 2018) yang juga mengalami peningkatan dari tahun 2016, yakni sebesar 32,8 persen (Sirkesnas, 2016).
Perilaku Merokok di dalam Rumah bersama dengan Anggota Keluarga dan Dampaknya terhadap Stunting.
Perilaku merokok di dalam rumah bersama dengan anggota keluarga menyebabkan tingginya prevalensi perokok pasif di dalam rumah. Berdasarkan Riskesdas tahun 2018, tercatat lebih dari 158 juta terpapar oleh asap rokok di dalam rumah dan 13 juta di antaranya adalah anak berusia 0 – 4 tahun. Hal ini menjadi ancaman bagi tumbuh kembang balita sebagaimana dinyatakan bahwa paparan asap rokok, baik selama masa kehamilan maupun selama masa tumbuh kembang anak, memiliki hubungan dengan adanya risiko stunting, khususnya pada negara dengan pendapatan menengah ke bawah (Nadhiroh et al, 2020).
Kehadiran paparan asap rokok pada saat janin berada dalam kandungan hingga bayi berusia 6 bulan, ditambah kondisi ibu dengan anemia saat kehamilan dimungkinkan menyebabkan efek kombinasi yang berdampak pada pertumbuhan linier. Pada masa pertumbuhan yang cepat, seorang bayi membutuhkan suplai dan metabolisme energi. Metabolism energi selular tergantung pada oksigen. Pada bayi dengan cadangan zat besi yang rendah saat berada dalam kandungan dan kemungkinan menetap pada tahun pertama kehidupannya, kekurangan zat besi menurunkan metabolism energi selular yang tergantung pada suplai oksigen, dikarenakan penurunan sintesa heme dan Hb, sintesa sel darah merah dan seterusnya sehingga membawa konsekuensi pada hambatan pertumbuhan linier (Soliman, De Sanctis and Kalra, 2014). Disisi lain kandungan karbon monoksida (CO) pada asap rokok yang terhisap bayi berhubungan dengan penurunan ketersediaan oksigen sebagai akibat peningkatan konsentrasi COHb dalam darah. Ketika terbentuk COHb, maka akan menggeser kapasitas darah sebagai pembawa oksigen dan menurunkan pelepasan oksigen ke jaringan (Vallero, 2014). Lebih jauh, keberadaan kadmium dalam asap rokok dapat mengganggu keseimbangan kadmium-zinc dan kadmium-kalsium dalam tubuh yang mengakibatkan hambatan pembentukan tulang dan memperlambat pertumbuhan panjang badan (Berlanga et al., 2002).xco